kewajiban mas kawin/mahar ini berdasarkan dalil al-Qur'an dan hadits diantaranya firman Allah yang berbunyi :
"Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati (setubuhi) diantara mereka, berikanlah maharnya kepada mereka
(dengan sempurna)" (Q.S. al-Nisa' : 24)
Begitu juga dalam ayat selanjutnya : "Kawinilah mereka dengan seijin
keluarga mereka dan berikanlah mas kawin mereka sesuai dengan kadar yang
pas"
(Q.S. al-Nisa': 25)
Adapun mengenai batas-batasnya (maksimal atau minimal), mahar tidak mempunyai
batasan. Suami boleh memberikan mas kawin kepada isterinya berapapun jumlahnya sesuai dengan kemampuan
suami.
Pernah suatu kali Sahabat Umar bin Khattab ra. ketika menjabat sebagai khalifah membatasi mas kawin tidak boleh lebih dari 400
dirham, tindakan ini ditentang oleh seorang wanita yang mengatakan bahwa Allah telah berfirman :
"Dan jika kamu ingin menggantikan isterimu dengan isteri yang lain (karena
perceraian), sedang kamu telah memberikan kepada seseorang diantara mereka harta yang banyak
(qinthaar), maka janganlah kamu mengambil kembali darinya barang sedikitpun".
(Q.S. al-Nisa' : 20) Kalimat "qinthaar" dalam ayat ini bermakna : jumlah yang banyak tanpa
batas. Maka ketika itu Umar mengakui kekhilafannya atau kesalahannya seraya
berkata: "Wanita itu benar, Umarlah yang salah".
Tetapi walaupun demikian, agama tetap menganjurkan untuk mempermudah
hal-hal yang berhubungan dengan mas kawin seperti yang tertera dalam
sabda
Rasulullah:
"Sesungguhnya wanita yang paling banyak berkahnya adalah wanita yang paling
sedikit/murah mas kawinnya."
Para ulama dahulu berbeda pendapat dalam menentukan kadar minimal mas kawin:
1. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa mas kawin minimal senilai 3 dirham. Mereka mengkiaskan
(menyamakan) hal ini dengan wajibnya potong tangan bagi pencuri ketika barang curiannya bernilai 3 dirham atau
lebih.
2. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa mas kawin paling sedikit 10 dirham atau dengan yang
senilainya. Ini berlandaskan bahwa Nabi membayar mas kawin para isterinya tidak pernah kurang dari 10
dirham.
3.Ulama Syafi'iah dan Hanbaliyah berpendapat, tidak ada batas minimal,
yang penting bahwa sesuatu itu bernilai atau berharga maka sah
(layak) untuk dijadikan mas kawin (termasuk seperangkat alat salat).
Golongan ketiga ini mendasarkan pendapatnya pada (a) ayat "Dan
dihalalkan bagimu selain yang demikian
(wanita yang telah disebutkan dalam ayat 23-24 surat al-Nisa'), yaitu
mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk
dizinai" (Q.S. al-Nisa' : 24). Kalimat "amwaal" (Indonesia =
harta) dalam ayat ini lafadznya umum tanpa dibatasi dengan jumlah
tertentu, dan tidak ada dalil lain dari hadits atau
ijma' para sahabat yang mengkhususkan kalimat ini, maka keumumannya
wajib
diamalkan. (b) Hadits Rasulullah yang berbunyi : "iltamis walau
khaataman min
hadid" ("Berikanlah [mas kawin] walaupun hanya sebuah cincin yang
terbuat dari
besi). Selengkapnya hadits ini adalah sebuah kisah: suatu saat Nabi
didatangi seorang perempuan yang menginginkan agar Nabi berkenan
menikahinya. "Saya pasrahkan diri saya pada tuan", kata si perempuan.
Namun lantas Nabi berfikir agak
panjang.
Pada saat itulah berdiri seorang sahabat dan memberanikan diri menyatakan kepada
Nabi,
"Wahai Rasulullah, jika paduka tidak berkenan menikahinya, nikahkan saja perempuan itu
denganku".
"Apakah kamu memiliki sesuatu untuk dijadikan maharnya?"
"Saya tidak mempunya apa-apa kecuali kain sarung saya ini".
"Sarungmu?!. Lantas kamu nanti mau pakai apa jika sarung itu kamu jadikan
mahar? Carilah sesuatu".
"Sama sekali saya tak punya apa-apa".
"Carilah, walau hanya cincin besi".
Lelaki tadi lantas mencari-cari, namun memang dia tak punya apa-apa. Lalu kata
Nabi:
"Apakah kamu hafal beberapa (surat) dari al-Qur'an?".
"Oh ya, surat ini dan surat ini", dia mengatakan surat-surat yang
dihafalnya. Maka lantas Nabi menikahkan mereka, "Saya nikahkan kamu dengan perempuan itu dengan mahar apa yang kamu hafal dari
al-Qur'an".
Jelaslah dengan demikian, bahwa mahar itu tidak ada batasannya. Apapun bentuknya, berapapun
jumlahnya, sampai barang yang paling sederhana sekali, bahkan berupa bacaan al-Qur'an, yang penting bernilai dan
berharga, maka sah (layak) dijadikan mahar. Dan pendapat yang terakhir inilah yang paling rajih
(pendapat yang paling kuat argumen serta dalilnya).
Jumat, 12 Juli 2013
5
cari hadist: Hadits tentang mas kawin
kewajiban mas kawin/mahar ini berdasarkan dalil al-Qur'an dan hadits diantaranya firman Allah yang berbunyi : "Maka isteri-isteri...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar